#

Pelajaran yang Bisa Diambil dari Film Terbaik Indonesia Layangan Putus

Post a Comment

 

Sumber gambar: suara.com

Setiap orang memiliki karakternya masing-masing. Ada yang berperan sebagai penonton, pemain, sutradara, maupun pembuat skenario. Diantara peran-peran tersebut, di kalangan masyarakat justru akrab akan ungkapan “Jangan hanya jadi penonton, tapi jadilah seorang pemain.” Ungkapan ini mungkin biasa saja bagi mereka yang belum menelaahnya lebih dalam lagi.

Tapi sebenarnya ungkapan tersebut bertujuan untuk mengajak para penontonnya agar menjadi pribadi yang aktif dalam menciptakan suatu perubahan. Meskipun demikian, sebagai penonton pun sebenarnya kita bisa mengambil pelajaran berharga yang disampaikan melalui film yang ditayangkan.

Pelajaran dari Film Layangan Putus

Sebetulnya saya sendiri juga belum menonton filmnya. Tapi teman-teman di salah satu grup yang saya ikuti membahas mengenai pembelajaran yang bisa dipetik dari film Layangan Putus. Saya pun baru mengetahui dan menyadari tentang pembelajaran ini setelah mereka membahasnya. 

Lalu dari pembahasan tersebut disampaikan bahwa pelajaran-pelajaran berharga dari film Layangan Putus ini sebaiknya disebar luaskan. Pasalnya masih banyak diantara kita yang mengikuti kebiasaan pola aksi reaksi tanpa mengetahui ilmunya lebih dalam lagi.

Perihal yang sebenarnya ingin dibahas pada film ini yaitu tentang ketidak harmonian antara figur maskulin dan feminin dalam rumah tangga. Berikut ini pembelajaran yang dapat dipetik dari film Layangan Putus.

Konsep Maskulin dan Feminin

Setiap orang terlahir dengan fitrahnya masing-masing. Yang mana ia harus terekspresikan dalam kehidupan sehari-harinya untuk menjaga agar dirinya tetap berada dalam kondisi stabil.  Sebagai manusia tentu kita tidak bisa terus menerus berada dalam kondisi stabil.

Namun setidaknya kita perlu mengetahui bagaimana agar kestabilan tersebut tetap terjaga. Untuk menjaga kestabilannya seseorang harus kembali atau setidaknya mendekati fitrahnya. Bagaimanapun juga kehidupa yang terjadi selama ini sering mendistraksi seseorang sehingga tidak berada pada fitrah dasarnya.

Lalu apa saja sih fitrah dasar pria dan wanita? Fitrah dasar pria yaitu maskulin, sedangkan wanita adalah feminin. Maskulin akan melakukan aktivitas seperti berfikir, memutuskan suatu hal, melakukan suatu tindakan, mengeksekusinya, memberi, dan mengayomi. Sedangkan feminin akan lebih merasakan, mengekspresikan, mengalami, memilih, menerima, menikmati, dan sensualitas.

Sensualitas yang dimaksudkan di sini yaitu hal-hal yang berkaitan dengan sensor dari panca indranya, baik itu melihat, menyentuh, mendengar, merasa, dan mencium. Sehingga pada kondisi yang harmoni seorang pria akan menginisiasi dan memberi. Di samping itu pada kondisi harmoni seorang wanita akan menerima dan merespon. Kondisi harmoni inilah yang harus selalu terjaga agar rumah tangga dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Programming dan Pergeseran Nilai

Disadari atau tidak, kehidupan saat ini sudah mengalami banyak pergeseran nilai. Pergeseran-pergeseran nilai ini sedikit demi sedikit mulai disepakati dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Pada akhirnya hal itu membentuk programming yang tidak harmoni antara pria dan wanita.

Misalnya saja ketika seorang istri melakukan semua hal untuk suaminya, memberikan kebebasan sebebas-bebasnya kepada suami, dan mengorbankan kebahagiaan dirinya sendiri. Akan tetapi si suami tetap merasa cintanya justru semakin pudar meskipun istrinya sudah melakukan semua itu. Hal ini terjadi karena si suami tidak bisa mengekespresikan maskulinnya sebagaimana mestinya.

Karena tidak bisa menyalurkan jiwa maskulinnya, akhirnya ia sendiri merasa sulit untuk melakukan komunikasi dari hati ke hati dengan pasangannya. Alhasil para pria seperti ini akan cenderung menghindari pasangannya. Hal ini juga berlaku bagi para wanita.

Wanita atau lebih tepatnya seorang istri sering kali melakukan overfunctioning dalam kehidupan rumah tangganya. Ia berusaha untuk selalu memberi, memulai, mengejar, mencoba, mengayomi, dan berkorban. Namun semakin sorang istri melakukan hal-hal maskulin di atas maka semakin buruk pula perlakuan pasangannya kepadanya.

Peristiwa-peristiwa tersebut tejadi karena tidak harmoninya antara maskulin dan feminin yang sesuai fitrahnya. Belajar dari peristiwa ketidakharmonian ini, maka sebagai orang tua sebaiknya kita mendidik anak-anak kita sesuai fitrahnya.

Mulai saat ini kita harus mengizinkan anak laki-laki untuk melakukan aktivitas secara mandiri dan menggeser nilai yang saat ini berkembang. Umumnya saat ini pemikiran tentang menempatkan posisi bahwa laki-laki harus selalu dilayani adalah keharusan yang wajib dilakukan oleh seorang perempuan. Padahal secara fitrahnya seorang pria itu maskulin. Sayangnya pemrograman dan pergeseran nilai yang tidak tepat menjadikannya kehilangan fitrahnya dan jati dirinya sendiri.

 

Semoga uraian di atas dapat memberikan manfaat dan bisa menjadikan pelajaran untuk kita dalam menjalani kehidupan berumah tangga yang lebih baik lagi. Di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna, tapi setidaknya kita harus mencoba untuk selalu memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu sebelum menilai tentang orang lain.

Devie
Perkenalkan, saya adalah de vie. Dalam terjemahan di google translate, de vie berarti kehidupan. Jadi, saya adalah kehidupan :D Pembaca blog ini saya sebut dengan panggilan Vie alias Viewers :) So kita samaan dong :D

Related Posts

Post a Comment